Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tongkat Tunggal Panaluan | Tongkat Sakti Orang Batak

Tukkot tunggal panaluan

Tunggal Panaluan adalah sebuah benda berbentuk tongkat (tungkot) dengan ukuran panjang kira-kira 170 cm, dan biasanya dimiliki oleh Datu bolon (dukun besar).Tongkat Tunggal Panaluan ini salah satu seni  dari suku Batak yang sudah terkenal diseluruh dunia, yang diukir menurut kejadian sebenarnya dari kayu tertentu yang juga memiliki kesaktian. Masyarakat suku Batak meyakini bahwa benda ini memiliki kekuatan gaib, seperti untuk meminta hujan, menahan hujan (manarang udan), menolak bala, wabah, mengobati penyakit, mencari dan menangkap pencuri, membantu dalam peperangan dll. 


Ada beberapa versi mengenai kisah terjadinya tongkat Tongkat Tunggal Panaluan ini, tetapi pada intinya kisah-kisah tersebut hampir bersamaan atau mirip. Berikut ini adalah kisah atau legenda asal mula Tungkot Tunggal Panaluan tersebut.


Dahulu kala di daerah Pangururan, Pulau Samosir tepatnya di Desa Sidogordogor tinggallah seorang laki-laki bernama Guru Hatimbulan. Beliau adalah seorang dukun yang bergelar ‘Datu Arak ni Pane‘. Istrinya bernama Nan Sindak Panaluan. Mereka sudah cukup lama menikah tetapi belum juga di karuniai seorang anakpun. Suatu ketika perempuan itu hamil setelah begitu lamanya mereka menunggu, kehamilan tersebut membuat heran semua penduduk kampung itu dan menganggap keadaan itu hal yang gaib (aneh), bersamaan pada saat itu juga sedang terjadi masa kemarau dan paceklik, cuaca sangat panas dan kering, saking teriknya tak tertahankan, permukaan tanah dan rawa-rawa pun menjadi kerak dan keras.


Melihat keadaan kemarau dan panas yg masih terjadi ini, membuat Raja Bius (head of Malim community) menjadi risau, lalu ia pergi menjumpai Guru Hatimbulan dan berkata kepadanya: ‘Mungkin ada baiknya kita mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata Mulajadi Nabolon, mengapa panas dan kemarau ini masih terus berkepanjangan?’. Hal ini sangat jarang terjadi sebelumnya, lalu Guru Hatimbulan menjawab :”Semua ini mungkin saja terjadi”. lalu Raja Bius mengatakan :” Semua orang kampung heran mengapa istrimu begitu lama baru hamil, mereka berkata bahwa kehamilannya itu sangat terlalu lama", karena percakapan itu maka timbullah pertengkaran diantara mereka, tetapi tidak menyebabkan perkelahian.


Di lain waktu tiba saatnya istri Guru Hatimbulan melahirkan, perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak laki-laki dan perempuan, seketika itu juga maka hujan pun turun dengan lebatnya, maka semua tanam-tanaman dan pepohonan nampak segar kembali dan keadaan menjadi hijau lagi. Untuk merayakan itu semua, lalu Guru Hatimbulan memotong seekor lembu serta untuk mendamaikan kekuasaan jahat. Ia juga mengundang semua penatua-penatua dan kepala-kepala kampung dalam perjamuan itu, dimana nama anak-anak itu akan di umumkan putranya diberi nama Si Aji Donda Hatahutan dan putrinya itu di beri nama Si Boru Tapi Nauasan.


Setelah usai pesta tersebut, ada beberapa tamu yang telah menasehatkan Guru Hatimbulan supaya anak-anak itu jangan kiranya di asuh bersama-sama, yang satu kiranya di bawa ke barat dan yang satu lagi di bawa ke timur, sebab anak itu lahir kembar, dan juga berlainan jenis kelamin, hal ini sangat tidak menguntungkan menurut kata orangtua dulu.


Guru hatimbulan tidak memandang serta memperhatikan nasehat dari para penatua dan kepala kampung tersebu. Setelah sekian lama terbuktilah apa yg dinasehat para penatua itu benar adanya. Dilain waktu, Guru hatimbulan pergi ke Pusuk buhit dan membuat sebuah gubuk disana, dan membawa anak-anaknya kesana.


Gubuk itu dijaga dengan seekor anjing dan setiap hari guru hatimbulan membawakan makanan untuk anaknya tersebut. Setelah anak-anaknya bertumbuh menjadi besar, pergilah putrinya jalan-jalan ke hutan lalu dilihatnya sebuah pohon yaitu pohon piu-piu tanggulon(hau tada-tada), pohon yang batangnya penuh dengan duri tetapi memiliki buah manis. Melihat buah pohon itu, maka timbullah hasratnya untuk memakannya, dia mengambil beberapa buah itu dan memakannya. Pada saat itu juga dia tertelan dan menjadi satu dengan pohon itu hanya kepalanya saja yg terlihat (tersisa) . Di tempat lain abangnya Si Aji Donda Hatahutan gelisah menunggu adiknya pulang, kenapa sampai sore kok belum pulang juga adiknya, lalu dia pergi ke dalam hutan untuk mencarinya sambil berteriak memanggil-manggil nama adiknya itu. Saat dia sudah merasa letih, tiba-tiba dia mendengar jawaban dari adiknya dari pohon yg berdekatan dengan dia, dan adiknya menceritakan apa yg terjadi.


Si Aji Donda memanjat pohon itu, tetapi dia pun ikut ditelan dan menjadi satu dengan pohon itu. Keduanya menangis untuk meminta tolong, tetapi suara mereka hilang begitu saja di dalam gelapnya hutan. Keesokan paginya, anjing mereka lewat dan meloncat-loncat pada pohon tersebut, lalu anjing itupun mengalami hal yang sama, tertelan oleh pohon itu hanya kepalanya saja yang terlihat.


Seperti biasa si Guru hatimbulan datang ke gubuk anaknya untuk membawakan mereka makanan, tapi dia tidak menemui mereka, lalu dia mencari dan mengikuti jejak kaki anaknya ke dalam hutan, sampai pada akhirnya dia menemui pohon tersebut dan dimana dia hanya melihat kepala kedua orang anak itu dan anjing penjaganya.


Melihat hal itu dia menjadi sedih. Dari info dan petunjuk yang dia cari maka bertemulah dia dengan seorang datu yg bernama Datu Parmanuk Koling, dia menceritakan kejadian itu dan mengajak datu itu ke pohon tersebut untuk menolong anaknya, diiringi oleh banyak orang yg ingin melihat, karena kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok dan pemusik pun sudah dipanggil lalu si datu memulai ritualnya, si datu berdoa dan membaca mantra untuk membujuk roh yg menawan anak si Guru hatimbulan, setelah upacara selesai maka naiklah si Datu Parmanuk koling ke pohon itu, tetapi hal yang sama juga terjadi, dia tertelan oleh pohon itu.


Guru Hatimbulan dan para penonton kembali ke rumah mereka dengan hati kecewa, tetapi mereka tidak putus asa , mereka tetap berusaha mencari jalan keluarnya dengan mencari datu lain. Kemudian Guru hatimbulan mendengar kabar ada datu yang hebat, namanya Marangin Bosi atau Datu Mallantang Malitting. Orang itu pergi ke pohon tersebut, tetapi mengalami nasib yang sama.


Kemudian ada juga Datu Boru SiBaso Bolon, dia juga menjadi tawanan si pohon itu. Hal yang sama juga terjadi kepada Datu Horbo Marpaung, Si Aji Bahar(si Jolma so Begu) yang mana setengah manusia dan setengah iblis. Dan seekor ular pun di telan pohon itu. Guru hatimbulan sudah kehabisan akal,dan juga telah mengeluarkan begitu banyak uang untuk keperluan pemusik(gondang) , pele-pelean, dan semua yg diminta para datu itu utk roh yg ada di pohon tsb.


Beberapa hari setelah itu, seorang datu, bernama Si Parpansa Ginjang memberitahukan Guru hatimbulan bahwa dia dapat membebaskan kedua anaknya dari tawanan pohon itu. Guru hatimbulan mempercayai omongan si datu itu,dan menyediakan semua apa yang diminta oleh si datu. Si datu berkata bahwa kita harus memberikan persembahan kepada semua roh, roh tanah(spirit of land), roh air(water), roh kayu(wood) dan lainnya baru kemudian bisa membebaskan kedua anak tsb.


Guru hatimbulan mempersiapkan semua yg diperlukan oleh si datu utk upacara tsb sesuai dgn arahan si datu. Kemudian mereka pergi menemui pohon itu disertai oleh orang kampung sekitarnya. Setelah si datu selesai memberikan mantra kepada senjata wasiatnya,lalu dia menebang pohon itu tetapi semua kepala orang yangg ada di pohon jadi menghilang, juga anjing dan ular yg tertelan pohon itu. Semua orang yg menyaksikan seperti terperanjat, lalu si datu berkata kepada Guru hatimbulan: 'Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah gambaran dari orang-orang yg ditelan oleh pohon ini'. Guru hatimbulan memotong batang pohon itu menjadi beberapa bagian dan mengukirnya menjadi sebuah tongkat dengan bentuk 5 orang lelaki, 2 orang anaknya, seekor anjing dan seekor ular.


Setelah selesai mengukit tongkat tersebut menjadi 9 rupa, maka semua orang kembali ke kampung guru hatimbulan, ketika mereka tiba di kampung ditandai dengan bunyi gong, dan juga mengorbankan seekor lembu untuk menghormati mereka yang di ukir dalam tongkat tersebut. Setelah guru hatimbulan selesai manortor maka tongkat itu diletakkan membelakangi muka lumbung padi. Setelah itu baru datu Parpansa Ginjang manortor (menari), melalui tortor ini dia kesurupan (siar-siaron) dirasuki roh-roh dari orang-orang  yg pernah ditelan pohon itu dan mulai berbicara satu-persatu, mereka adalah roh dari:


1. Si Aji Donda Hatahutan.

2. Siboru Tapi Nauasan.

3. Datu Pulo Punjung nauli, atau si Melbus-elbus.

4. Guru Manggantar porang.

5. Si Sanggar Maolaol.

6. Si Upar mangalele.

7. Barita Songkar Pangururan.


Dan mereka berkata, wahai bapak pemahat, kau telah membuat ukiran dari rupa kami semua dan kami punya mata, tetapi tidak bisa melihat, kami punya mulut tetapi tidak bisa bicara, kami punya telinga tapi tidak mendengar, kami punya tangan tapi tidak bisa menggenggam.


Kami mengutuk kamu, wahai pemahat!. Si datu menjawab, jangan kutuk dia tetapi kutuklah pisau ini tanpa pisau ini dia tidak dapat mengukir image kalian. Tetapi si pisau berbalik membalas, jangan kutuk aku, tetapi kutuklah si tukang besi. Kalau saja dia tidak menempa aku menjadi pisau, aku tidak akan pernah menjadi pisau. Si tukang besi menjawab, jangan kutuk aku tapi kutuklah Angin, tanpa angin aku tidak dapat menempa besi. Angin menjawab, jangan kutuk kami tapi kutuklah si Guru hatimbulan. ketika semua tertuju pada Guru hatimbulan, maka roh itu berkata melalui si datu, ‘ aku mengutukmu, ayah dan juga kamu Ibu, yaitu yang melahirkan aku’. Ketika Guru hatimbulan mendengar itu, dia menjawab balik’ jangan kutuk aku tetapi kutuklah dirimu sendiri. Kau yang jatuh ke dalam lubang dan terbunuh oleh pisau dan kamu tidak mempunyai keturunan.


Lalu Roh itu berkata ‘baiklah, biarlah begini adanya, ayah, dan gunakanlah aku ‘ untuk: Menahan hujan, Memanggil hujan pada waktu musim kering, Senjata di waktu perang, Mengobati penyakit, Menangkap pencuri, dll. Setelah upacara itu, maka pulanglah mereka masing-masing. 


terjemahan bebas dari: Forgotten Kingdom in Sumatra , by. FM.Schitger, 1989

BatakNesia.com