Ketika Orang Batak Bersatu | Catatan Batara Hutagalung
Bataknesia.com - Ketika bangsa-bangsa Eropa datang ke Asia Tenggara (belum ada Indonesia) dimulai pada abad 16, sangat banyak kerajaan dan kesultanan kecil-kecil di Asia Tenggara. Belanda menyerang dan mengalahkan satu-persatu kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara tersebut, dimulai dengan mengalahkan kota Jayakarta pada 30 Mei 1619. Tanggal ini merupakan awal penjajahan Belanda di Asia tenggara. Kemudian setelah itu, Belanda menyerang kerajaan-kerajaan lain. Belanda ingin mewujudkan yang dinamakan Pax Nederlandica.
Namun sampai akhir abad 19, beberapa kerajaan dan kesultanan belum dikalahkan oleh Belanda, a.l. kerajaan Batak, Kesultanan Aceh, Kerajaan Badung di Bali dan Kerajaan Klungkung di Bali. Pada 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh. Raja Sisingamangaraja XII pada bulan Februari 1878 menyatakan perang terhadap Belanda. Ini artinya Tanah Rencong dan Tanah Batak masih merdeka, belum dijajah oleh Belanda. Kesultanan Aceh jatuh tahun 1904. Kerajaan Batak dikalahkan Belanda dengan gugurnya Singamangaraja XII dalam pertempuran pada 17 Juni 1907. Juga gugur dalam pertempuran tersebut, satu putri dan dua putranya. Yang terakhir dikalahkan Belanda adalah kerajaan Klungkung di Bali, pada bulan September 1908.
Dengan demikian terlihat, bahwa Belanda memerlukan waktu hampir 300 tahun, dari tanggal 30 Mei 1619 – September 1908, untuk dapat menguasai sebagian besar wilayah di Asia tenggara. Belanda menamakan jajahannya sebagai Nederlands Indië (India Belanda). Fakta ini juga membantah mitos, “Belanda menjajah Indonesia 350 tahun.” Kerajaan dan kesultanan tersebut hanya dijajah selama sekitar 30-an tahun saja. Juga dengan demikian Tanah Batak tidak dijajah 350 tahun oleh Belanda.
Dari pemaparan di atas terlihat, Belanda berhasil menguasai wilayah besar di Asia Tenggara, karena belum ada persatuan dan kesatuan di antara kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan pada waktu itu. Bahkan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan tersebut saling memerangi untuk menguasai kerajaan lain di Asia tengara.
Berkat perjuangan panjang dan kegigihan, para pendiri negara dan bangsa Indonesia, termasuk putra-putra Batak yang tergabuing dalam Jong Bataksche Bond (Ikatan Pemuda Batak), berhasil mempersatukan berbagai etnis/suku yang ada di Nederlands Indië, jajahan Belanda di Asia Tenggara. Sebelum Kongres Pemuda Indonesia pertama tahun 1926, seorang pemuda yang sebenarnya sangat berjasa dalam mempersatukan para pemuda pribumi jajahan Belanda, adalah Rajiun Harahap, gelar Sutan Kasayangan Soripada yang lahir di Batu Nadua, Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pada 15 November 1908 di Belanda, Rajiun Harahap, mendirikan organisasi Perhimpunan Indonesia, yang menjadi embrio gerakan kebangsaan. Nama Rajiun Harahap tidak (belum) ditulis dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Yang pernah menjadi Ketua dari organisasi yang didirikan oleh Rajiun Harahap a.l. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro. Pahlawan Nasional), dr. Sutomo (pendiri Budi Utomo. Pahlawan Nasional), Achmad Subarjo (Pahlawan Nasional.), Iwa Kusuma Sumantri (Pahlawan Nasional), Sukiman Wiryosanjoyo (Tahun 1951 Perdana Menteri RI ke 6), Mohammad Hatta (Wakil Presiden, Pahlawan Proklamasi). Juga yang pernah menjadi anggota pengurus Perhimpunan Indonesia, a.l. Ali Sastroamijoyo (dua kali menjabat sebagai Perdana Menteri RI). Di sini dapat dilihat hebatnya organisasi yang didirikan oleh Rajiun Harahap di Belanda tahun 1908.
Puncak perjuangan bersama tersebut adalah pernyataan (proklamasi) kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun Belanda tidak mau mengakui pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia tersebut. Bahkan sampai sekarang tahun 2021, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Dengan dibantu sekutu-sekutunya dalam Perang Dunia II, yaitu Inggris dan Australia, Belanda melancarkan agresi militer terhadap Republik Indonesia. Berkat bantuan 3 divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia, Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Republik Indonesia dan mendirikan negara2 boneka di wilayah yang dikuasai Belanda.
Pada 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi milter ke II terhadap Republik Indonesia yang wilayahnya sudah sangat kecil, yaitu hanya terdiri dari sebagian Jawa dan Sumatera. Belanda mengerahkan pasukan terbesar setelah Perang Dunia II/Perang Asia-Pasifik berakhir pada 15 Agustus 1945.
Belanda mendatangkan 150.000 tentara dari Belanda, ditambah 65.000 pasukan KNIL yang terdiri dari pribumi dan Indo-Eropa/Belanda serta ditambah 50.000 orang pasukan Bangsa Cina, Pao (Po) An Tui. Pasukan Belanda dipersenjatai dengan persenjataan paling moderen pada waktu itu. Tujuannya adalah pukulan terakhir untuk menghacurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan melenyapkan Republik Indonesia dari peta politik dunia.
Kekuatan TNI di Jawa dan Sumatera hanya sekitar 100.000 orang dengan persenjataan yang direbut dari tentara Jepang.
Sejarah menunjukkan, bahwa dengan kekuatan hampir tiga kali lipat dan dengan persenjataah moderen, tentara Belanda tidak berhasil mengalahkan Tentara Nasional Indonesia yang didukung penuh oleh rakyat Indonesia. Sampai dimulainya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus 1949, Republik Indonesia dan TNI tetap ada dan tidak punah. Dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari tahun 1945 – 1949, sangat banyak putra-putra Batak yang ikut berperang dan gugur dalam peperangan. Mereka berjuang bukan hanya di Sumatera Utara, melainkan juga di Pulau Jawa.
Pelajaran dari sejarah yang dapat dipetik adalah, ketika di Tanah Batak belum ada kesatuan dan persatuan, satu persatu wilayahnya dapat dikuasai oleh Belanda. Demikian juga di Asia tenggara, ketika belum ada persatuan dan kesatuan di antara kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan, bahkan masih saling menyerang, mereka dapat satu-persatu dikalahkan oleh Belanda, satu negara dan bangsa yang kecil.
Pentingnya Menjaga Kesatuan dan Persatuan
Namun setelah ada kesatuan dan persatuan di antara pribumi jajahan Belanda, dengan membentuk bangsa dan mendirikan negara Indonesia, dengan kekuatan militer yang sangat besar, Belanda dan sekutunya tidak berhasil mengalahkan negara dan bangsa Indonesia.
Demikian juga dengan masyarakat Batak. Ketika Batak bersatu, tokoh-tokoh Batak ikut memegang peran penting dalam membentuk bangsa dan mendirikan negara Indonesia serta mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Kekuatan-kekuatan yang ingin menghancurkan dan kemudian menguasai Indonesia, juga belajar dari sejarah, yaitu, kalau bangsa Indonesia bersatu, maka bangsa Indonesia tidak terkalahkan. Oleh karena itu, mereka menggunakan metode lama yang ampuh selama ratusan tahun, yaitu “Divide et impera,” memecah-belah kemudian menguasai.
Ini yang terjadi di Indonesia sekarang. Sesama penganut satu agama diadu-domba dan dibenturkan, Antar agama diadu-domba dan dibenturkan. Sesama etnis diadu-domba dan dibenturkan. Antar etnis diadu-domba dan dibenturkan. Apabila mereka berhasil dan Indonesia pecah, maka dengan mudah Indonesia akan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan asing dan para antek serta kaki-tangannya di Indonesia. Maka berlakulah adagium: “sejarah berulang kembali: Indonesia dijajah.”
Kalau “tempo doeloe” ada perbedaan, maka dengan kearifan para leluhur, dicari titik temunya, dicari kesamaannya, sehingga terciptalah semboyan persatuan, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang menghasilkan terbentuknya bangsa Indonesia dan berdirinya NKRI. Yang terjadi sekarang adalah kebalikannya, dari yang sama atau bersatu, dicari, atau dicari-cari perbedaannya sebagai pembenaran untuk memisahkan diri. Dicari-cari pembenaran dari buku-buku kuno karangan para penjajah atau orang-orang Eropa lain. Banyak orang Indonesia yang tidak mengetahui, bahwa rekayasa penulisan sejarah sudah dilakukan oleh para penjajah sejak dari zaman kolonialisme. Bahkan mereka mengarang teori migrasi mengenai asal-usul nenek-moyang bangsa Indonesia, yaitu berasal dari Yunnan, Cina Selatan. Teori kuno yang salah ciptaan penjajah ini masih dipercayai oleh banyak orang Indonesia sampai sekarang.
Di Indonesia, suku Batak yang bersatu tercatat sebagai suku terbesar ketiga, setelah suku Jawa dan suku Sunda. Kalau Batak pecah menjadi 5 atau 6 suku, mungkin ada suku yang jumlahnya hanya beberapa ratus ribu saja.
Seandainya kekuatan yang memecah-belah ini berhasil, maka bukan hanya secara etnologis, melainkan secara demografis (peta/statistik kependudukan) harus dilakukan perubahan yang mendasar. Dalam penulisan jumlah suku/etnis di Indonesia menjadi bertambah lima atau enam. Seiring dengan ini, yang semula dikategorikan sebagai suku Batak, maka harus dirinci lagi, jumlah suku Mandailing, Suku Karo, dll.
Penulisan sejarah juga harus diubah. Dalam hal ini yang menyangkut tokoh-tokoh pendiri negara dan bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai orang Batak, terutama para pendiri Jong Bataksche Bond (Ikatan Pemuda Batak) juga harus berubah. Para pendirinya yang dikenal selama ini a.l. adalah Amir Syarifuddin Harahap dan Sanusi Pane dari Mandailing. Harus diteliti di Arsip Nasional, siapa-siapa saja yang pernah menjadi anggota Jong Bataksche Bond. Apakah juga akan ada klaim dari warga Mandailing yang menuntut, bahwa Jong Bataksche Bond itu tidak sah, karena tokoh-tokoh tersebut tidak boleh disebut sebagai orang-orang Batak? Bagaimana dengan Dr. Masdulhak Nasution, yang diberitakan di media di Belanda tahun 1943, sebagai orang Batak Pertama yang mendapat gelar Doktor di Universitas Utrecht? Masih ada satu tokoh dari Tanah Batak, yang diberitakan di Belanda sebagai “een Batakker,” seorang Batak, yaitu Sati Nasution (1840 – 1876) yang kemudian mengganti namanya menjadi Willem Iskander. Sepulangnya dari Belanda tahun 1861 setelah menempuh pendidikan sebagai guru, tahun 1862 Sati Nasution mendirikan Sekolah Guru (Kweekschool) di Tano Bato, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ki Hajar Dewantoro (KHD) yang disebut sebagai Bapak Pendidikan Indonesia lahir lahir tahun 1889. KHD mendirikan sekolah Taman Siswa tahun 1922. Hari kelahiran KHD ditetapkan sebagai “Hari Pendidikan Nasional Indonesia.” Kelihatannya nama Sati Nasution (Willem Iskander) tidak tercatat dalah sejarah pendidikan di Indonesia. Faktanya, Sati Nasution telah mendirikan Sekolah Guru, 37 tahun sebelum KHD lahir, dan 60 tahun sebelum Taman Siswa didirikan.
Para pewaris Sati Nasution (Willem Iskander), Rajiun Harahap Gelar Sutan Kasayangan Soripada, Sanusi Pane, Amir Syarifuddin Harahap, Abdul Haris Nasution, Zulkifli Lubis, Masdulhak Nasution, dll., apakah akan mengarang sejarah baru, di mana ditulis bahwa tokoh-tokoh pendiri negara dan bangsa Indonesia tersebut bukan orang-orang Batak?
Sejak masa pergerakan kebangsaan di awal abad 20, yang sangat berperan untuk persatuan dan kesatuan adalah para pemuda, termasuk para pemuda Batak. Oleh karena itu, demi keutuhan Negara dan Bangsa Indonesia, para pemuda harus kembali menjadi pelopor gerakan mempertahankan kesatuan dan persatuan, termasuk persatuan dan kesatuan suku Batak. Para Pemuda Batak harus kembali menjadi pelopor kesatuan dan persatuan, bukan menjadi pelopor perpecahan.
Oleh karena itu, harus diwaspadai upaya adu-domba untuk memecah-belah kesatuan dan persatuan dengan tujuan menguasai Indonesia.