Suhunan Situmorang-AHY Masih Perlu Menguatkan Dirinya
Fokus perhatian masyarakat dunia ialah menghentikan pandemi Covid -19, juga memikirkan dampaknya ke berbagai aspek--termasuk perekonomian. Umumnya warga Indonesia pun begitu, saya kira. Jumlah orang terpapar yang terus meningkat, sungguh tak menggembirakan.
Akibat yang lebih parah selain kesehatan ialah sumber penghasilan masyarakat, khususnya yang tidak digaji negara.
Bagaimana pula kelanjutan pendidikan generasi penerus bila keadaan tak berubah dalam beberapa bulan atau bahkan tahun ini? Dampak psikologisnya pada anak, pelajar, mahasiswa, tentu layak dipikirkan.
Pemerintahan negara yang berpusat di tangan Presiden Jokowi, patut diminta keterangan, langkah-langkah apa yang akan ditempuh sebagai pengurus negara. Boleh pula dikritik, selain memberi saran.
Lha, kok, AHY malah menyurati Jokowi karena dugaan: ada orang dekat di lingkungan kekuasaan, disinyalir atau dicurigai mau mengkudeta (lebih tepat sebetulnya hendak mengambilalih secara "hostile take over") Partai Demokrat.
Bila pun kecurigaan AHY (sebagai bosnya Demokrat) berdasar kuat, bukan hanya karena percaya bisik-bisik para loyalisnya, tidak ada pula dasarnya mengirim surat ke kepala negara meski untuk meminta "klarifikasi" atas dugaan terdebut.
Masalah yang disampaikan AHY merupakan masalah internal Demokrat, pengkhianatan kader-kader partai (bila memang benar ada) sepenuh urusan internal partai.
Artinya, itu bukan urusan publik atau rakyat, yang sepatutnya jadi bagian dari tanggung jawab Jokowi sebagai kepala negara.
AHY, agaknya memang belum cukup matang sebagai politisi--apalagi menjabat ketua umum satu parpol yang pernah berjaya; parpol yang diakui atau tidak, dikuasai ayahnya, SBY, sebagai penggagas utama.
Sekali lagi, bila pun kecurigaan AHY dan para pendukungnya berdasar kuat, yang dilakukan seharusnya memperkuat tubuh partai. Tidak menuding orang dekat presiden, apalagi menyurati untuk "mengadukan" masalah internal partai meski diduga ada peran atau niat dari eksternal untuk menguasai Demokrat.
Mungkin maksud AHY untuk mengumpulkan simpati dengan membeberkannya ke publik, tetapi yang terbaca dari komentar-komentar warganet di berbagai portal berita, AHY dan Demokrat (juga SBY) kembali jadi bahan ledekan.
AHY, agaknya butuh penasihat-penasihat yang independen dan kompeten membaca dinamika politik serta paham psikologi massa--dan harus mau mendengar, tentu. Bila tidak, ambisinya merebut kursi kekuasaan di negara ini, saya ragu, sulit dia capai.
Dia harus lebih berani melepas bayang-bayang ayahnya dan menyiapkan dirinya sebagai calon pemimpin di negara ini dengan mengedepankan rasionalisme, kecerdasan, selain integritas yang jadi modal penting memikat publik, khususnya kaum muda.
Andai dia peka memahami problema masyarakat dunia dan masyarakat negara ini akibat Covid-19 dengan memberi perhatian serta partisipasi aktif membantu warga yang kesulitan dengan program-program riil, suatu keniscayaan dia kumpulkan simpati publik. Tak soal akan disebut pencitraan, yang pokok ialah tidak manipulatif, apalagi koruptif.
Hentikanlah gaya komunikasi dan strategi politik seolah pihak yang diperlakukan tidak adil karena bisa menimbulkan kesan cengeng atau sentimentalis. Siapakah yang mau memilih pemimpin yang dianggap tidak tangguh dan suka mengeluh? Ubahlah strategi politik dan gaya komunikasi bila ingin mendulang dukungan publik. Jangan lupa pula, dia harus menjadi dirinya sendiri dan cukup meyakinkan kekuatannya sebagai harapan orang banyak.
* Saran dari warga biasa, non partisan, pendamba Indonesia yang damai dengan kebhinnekaan masyarakat, tak soal diterima atau langsung di-reject AHY.