Diberitakan, beberapa dukun di Banyuwangi, Jatim, berkumpul, mendirikan paguyuban, dan akan menyelenggarakan 'festival dukun santet'. Di hajatan tersebut, rencananya akan digelar "ilmu-ilmu spiritual" khas kemampuan paranormal.
Aneka tanggapan warganet pun muncul, banyak yang tak mendukung, menanggapi sinis, dikaitkan dengan perbuatan musryik atau dosa--selain ketidakmasukalan di saat zaman yang bergerak ke era 4.0 (revolusi industri yang memadukan kemajuan teknologi cyber dan teknologi otomatisasi) sebagai hasil kemajuan sains-Iptek.
Membicarakan atau menyoal praktik perdukunan, kemampuan santet, dunia paranormal, memang selalu menimbulkan keriuhan yang sia-sia. Tak pernah terhimpun pandangan yang sama, melainkan hanya pro kontra, antara kubu yang meragukan versus yang mengakui, kendati tak semua terbuka.
Bahkan, para pakar hukum perumus rancangan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) ada yang amat percaya santet hingga memasukkan pasal santet--meski mengundang perdebatan dan nasib rancangan KUHP revisi tersebut masih terbengkalai.
Catatan pendek ini tak hendak menyampaikan sikap menolak atau memercayai praktik perdukunan, santet, dan kemampuan supranatural lain.
Sebagai pengagum sains-Iptek yang mencoba "berpaham rasionalisme," kemampuan dukun atau paranormal tak bisa saya harapkan mampu memberi pertanggungjawaban sebagaimana tuntutan atau syarat ilmiah.
Perdukunan atau kemampuan paranormal bukan ilmu pengetahuan, terutama karena tidak memenuhi syarat-syarat sains-Iptek.
Tetapi, menafikkan daya percaya orang-orang atas kemampuan dukun atau paranormal pun bisa dituduh gegabah atau semacam arogansi akademik. Tak sedikit yang percaya kekuatan dukun dan hal-hal yang bersifat gaib walau zaman kian modern dan sains-Iptek yang menuntut rasionalisme serta empirisme kian mencengangkan produknya.
Orang Batak pun masih banyak yang percaya kemampuan dukun dan kekuatan supranatural, kendati tak selalu terbuka. Sebelum pengaruh agama Kristen menguat, peran dukun atau datu amat kuat malah dalam kepercayaan masyarakat Batak.
Dahulu, datu merupakan sosok yang dihormati sekaligus ditakuti, dianggap orang pintar (namalomalo) yang memiliki kemampuan supranatural atau mistik untuk melakukan apa pun sesuai kemauan si dukun atau karena permintaan "klien."
Sebagaimana masyarakat lain penghuni Nusantara, aliran dukun Batak pun dibagi dua: "ilmu" hitam dan "ilmu" putih. Yang pertama asosiatif dengan sifat buruk atau jahat, yang kedua sebaliknya.
Datu Batak pun dahulu dikatakan memiliki kemampuan santet yang menyeramkan dan mematikan. Salah satu yang tersisa sampai sekarang (bagi yang percaya), bisa menciptakan begu ganjang. Tugasnya untuk membuat sakit atau mati seseorang atau banyak orang sesuai pesanan seseorang. Harafiah begu ganjang: hantu yang amat tinggi. Konon, semakin dilihat, tingginya akan terus bertambah, menjulang ke langit.
Di wilayah Sumut (tak hanya Tano Batak), korban persekusi dan bahkan tindak pembunuhan cukup banyak terjadi karena dituduh memiliki "peliharaan" begu ganjang--yang dipesan dari datu atau yang berkegiatan sebagai dukun. Kasus pembakaran rumah orang yang dituduh memiliki begu ganjang sering terjadi--selain pengusiran oleh kumpulan warga yang mencurigai seseorang.
Selain begu ganjang, dahulu, masyarakat Batak percaya pula kekuatan gaib yang fantastis, antara lain sibiangsa (kadang disebut ulubalang). Konon, materi sibiangsa berasal dari saripati tubuh anak kecil (di bawah 10 tahun) yang direbus saat masih meregang nyawa dan sisa tubuhnya kemudian disimpan di sebuah guci atau gerabah. Ruh korban, konon, bisa melakukan apa saja yang diminta pemiliknya, termasuk menghancurkan satu kampung berikut penghuninya.
Dari berbagai sumber lisan yang pernah saya kumpulkan, dikatakan, memiliki sibiangsa atau ulubalang merupakan suatu kebutuhan di zaman lampau. Ia seperti senjata penyerang sekaligus penangkis serangan musuh dengan kemampuan destruktif yang luarbiasa.
|
(Ilustrasi Dukun, pixabay.com) |
Pamor datu dan tradisi santet kian berkurang di Tano Batak setelah kekristenan menguat. Kepercayaan-kepercayaan kuna dan mistik pun perlahan menguap meski tak sepenuh lenyap.
Di zaman modern pun masih ada yang percaya kemampuan dukun, baik untuk keperluan pengobatan (marubat huta), penglaris dagangan atau usaha supaya kaya, menaikkan pangkat atau mengamankan jabatan di kantor, memenangkan pilkada, pileg, pilkades, sampai membuat seseorang sakit atau mati.
Kendati tak mau terketahui memanfaatkan jasa dukun karena dianggap umumnya orang-orang berdukun merupakan perbuatan buruk, kepercayaan pada dukun tak bisa dinafikan, tetap ada sebagian masyarakat yang percaya--termasuk minta nomor togel.
Kemampuan-kemampuan supranatural, klenik, santet, juga memanggil ruh orang mati, terbilang banyak dimiliki datu Batak masa lampau. Upacara mandudu, yakni memanggil ruh orang mati dengan medium dukun diiringi musik etnik (gondang ogung), juga kemampuan parsordam melakulan hal yang sama dengan menggunakan sejenis suling bambu, hanya dua contoh.
Perlahan praktik klenik atau melibatkan dukun mengalami penolakan masyarakat, terutama karena semakin menguatnya peran lembaga gereja, walau jadi berdampak ke budaya dan seni masyarakat Batak seperti kecurigaan pada musik gondang sabangunan, tortor, ulos, ukir, patung, dan upacara-upacara adat. Kalangan kristiani beraliran "pemurnian" malah gencar menuduh semua itu bagian dari praktik penyembahan berhala (sipele begu) yang bertentangan dengan ajaran dan iman Kristen.
Meski orang Batak Kristen tetap banyak yang setia aturan adat dan melakukan acara adat (walau kian distorsif, antara lain, campursari instrumen musik dan lagu dalam acara adat kematian maupun pernikahan, ulos yang dipakai hasil pabrik atau tenun cetak dengan corak maupun warna yang kian beragam, juga kecenderungan transaksional atau mengarah matre; uang menjadi penentu atau dominan), perdukunan, menggunakan kekuatan-kekuatan gaib atau supranatural dianggap sesuatu yang buruk dan terutama bertentangan dengan kekristenan.
Upacara atau hajatan adat pun semakin menyingkirkan peran tokoh-tokoh adat-marga dan pemimpin spiritual masa lalu, seperti bius dan parbaringin. Dahulu, di kawasan Tano Batak, bius (perwakilan marga-marga yang dominan di suatu huta atau wilayah) dan parbaringin-lah (semacam pendeta dalam agama atau kepercayaan kuna Batak) yang mengatur upacara adat. Suatu hajatan adat atau digelar penghuni suatu huta, hanya sah bila bius telah membuka dengan ritual tersendiri.
Satu lagi tradisi yang telah hilang, upacara tabartabar. Ritual yang dipimpin datu manakala terjadi wabah penyakit dengan cara membersihkan kampung, memberi sesajen pada ruh-ruh leluhur dan sombaon (keramat) dan sejak hari remang sampai pagi terang, dilakukan upacara tabartabar dengan cara memukul-mukul dinding rumah dan peralatan rumahtangga untuk mengusir ruh-ruh jahat yang disebut dukun penyebab wabah penyakit. Ritual tersebut dilarang keras rohaniawan Kristen/Katolik, perlahan tak lagi dilakukan (setidaknya masyarakat Samosir, yang sampai awal 70-an masih melakukan, khususnya di pelosok-pelosok).
Ajaran rohaniawan Kristen/Katolik, secara umum, berhasil menggusur kepercayaan-kepercayaan klenik atau gaib dari diri masyarakat Batak. Praktik perdukunan pun menjadi sesuatu yang berkesan buruk. Persepsi orang-orang umumnya amat negatif, menakutkan, dan orang yang pergi ke dukun pun dianggap layak dihindari karena selain bertentangan dengan ajaran agama, pula dicurigai memiliki niat buruk terhadap orang lain.
Tetapi diam-diam, orang-orang Batak masih mau menggunjingkan si Anu memiliki dukun yang diandalkan saat pilkada, pileg, pilkades, merebut jabatan, membuat laris dagangan atau bisnis, memikat lawan jenis, memenangkan judi togel, hingga membuat sakit atau mati seseorang.
Gunjing yang bisa menjadi fitnah dan berbuah kekejaman, sementara yang dituduh suka berdukun atau memelihara begu ganjang, seringkali tak punya daya untuk meyakinkan orang-orang bahwa dirinya tak seperti yang digosipkan.
Terbilang pelik memang membicarakan isu yang satu ini, terutama karena sulit dibuktikan namun tak sedikit yang percaya.
* Esai ini tidak bermaksud mengajak pembaca memercayai kemampuan dukun, kekuatan santet dan sejenisnya. Deskripsi dan pendapat dalam catatan ini pun harus dipandang dalam konteks pandangan antropologi-budaya serta fenomena sosial, maka tak relevan dikaitkan dengan doktrin agama Kristen. Suhunan Situmorang