Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Letusan Gunung Toba 74.000 Tahun Lalu Yang Hampir Memusnahkan Ummat Manusia

Gunung Toba

Sekitar 74.000 tahun yang lalu, gunung api super Toba meletus di Sumatera. Ledakan "mega-kolosal" ini disinyalir hampir menyebabkan kepunahan kita sebagai spesies manusia.

Abunya memenuhi langit. Menurut teori, letusan tersebut menyebabkan musim dingin vulkanik global yang mematikan yang berlangsung selama 10 tahun dan mengantarkan dingin 1.000 tahun.


Dikutip dari Kompas, Senin (29/11/2021) seorang geolog asal Belanda Van Bemmelen pada tahun 1939, menjadi orang pertama yang mengungkapkan bahwa Toba adalah sebuah gunung api.


Setelah letusan dahsyat itu, kaldera Toba lalu tertutup dengan batu-batuan beku. Berjalannya waktu, kolam tersebut terisi oleh air sehingga membentuk sebuah danau.


Danau Toba tercatat sebagai danau vulkanik paling besar di dunia yang berukuran 90 x 30 km2 dan kedalaman air danau ini mencapai 500 meter. Memiliki volume air mencapai sekitar 240 km2 membuat kedalaman Danau Toba sebagai sumber mata air tawar terbesar di dunia.


Toba tercatat sebagai supervulcano, karena letusan gunung api ini memuntahkan magma minimal 300 km3 ketika meletus. Ketika itu, tidak kurang dari 2.800 km3 material vulkanik yang dimuntahkan oleh Toba sehingga membentuk sebuah danau.


Dikabarkan Kompas, letusan dahsyat Gunung Toba dipercaya hampir memusnahkan umat manusia. Hanya sedikit orang yang dikabarkan selamat dari supervulcano ini.


Diperkirakan populasi manusia yang bertahan hanya sekitar hanya 5.000 sampai 10.000 orang saja akibat erupsi besar itu. Memang karena bencana tersebut, populasi manusia mengalami penurunan yang sangat drastis.


Letusan dahsyat tersebut menyebabkan guncangan hebat di berbagai belahan dunia. Setelah terjadi supervulcano ini, bumi mengalami perubahan iklim ekstrem.


Karena memuntahkan sekitar 2.800 kilometer kubik abu, membuat atmosfer bumi tertutup hingga 6 tahun lamanya. Setelahnya suhu udara dunia menjadi dingin.


Saksi letusan dahsyat Gunung Toba bisa terlihat dari debu vulkanik yang ditemukan di beberapa titik di penjuru dunia, bahkan sampai ke Kutub Utara. Bukan hanya debu, batu-batuan purba ini juga ditemukan berserakan mulai dari Samudra Hindia hingga India tengah.


Terjadinya letusan dahsyat Gunung Toba pada 74.000 tahun lalu, diyakini telah menghentikan migrasi manusia dari Afrika menuju Asia. Hal ini disampaikan oleh Ahli Genetika Universitas of Oxford, Stephen Oppenheimer.


Dipaparkan dari buku Seri Ekspedisi Cincin Api: Toba Mengubah Dunia terbitan Kompas, pendapat Oppenheimer ini bedasarkan penelitian mitokondria orang Papua yang merupakan homo sapiens tertua yang tiba di Asia dan Australia.


Oppenheimer mengungkapkan homo sapiens yang merupakan nenek moyang manusia modern keluar dari Afrika sekitar 71.000 tahun lalu, hal ini berarti 3.000 tahun setelah letusan Gunung Toba.


Beberapa yang lain bahkan baru keluar dari Afrika pada 60.000 tahun yang lalu. Padahal diyakini sekitar 120.000 tahun lalu, homo sapiens telah keluar dari Afrika.


Walau begitu tidak mudah memastikan teori dari Oppenheimer, pemetaan genetik manusia Asia yang juga menyingkap migrasi mereka oleh 99 ilmuan dari konsorsium Pan-Asia Single Nucleotide Polymorphism (SNP) belum menjawab misteri itu.


Studi besar yang dilakukan untuk memetakan genetik populasi bangsa Asia menghasilkan pemahaman asal usul bangsa Asia. Salah satunya adalah pola migrasi manusia ke Asia yang menghasilkan bangsa-bangsa.


Prof. Sangkot Marzuki yang termasuk anggota konsorsium belum bisa membenarkan teori letusan Gunung Toba memengaruhi jalur migrasi manusia. Walau begitu dia menyatakan belum meneliti secara spesifik kaitan genetik dengan Toba.


Mereka melakukan pemetaan dengan menggunakan metode autosomal yang memang bisa mengungkap lebih banyak varian dan kelompok, tetapi tidak bisa menentukan penanda waktu atau dalam istilah biomekular disebut clock.


"Penelitian kami menggunakan autosomal sehingga tidak bisa menentukan clock (penanda waktu) kapan kedatangan homo sapiens ke Asia Tenggara, kalau menggunakan mitokondria bisa ditentukan waktunya," ucap pria yang pernah menjadi Direktur Lembaga Eijkman dari tahun 1992 hingga 2014.


Walau begitu, para ahli telah sepakat tentang kemunculan homo sapiens dari Afrika sekitar 150.000-200.000 tahun lalu, kemudian mereka melakukan migrasi sekitar 120.000 tahun lalu yang terkenal dengan teori out of Africa.


Jones dalam tulisannya The Toba Supervolcanic Eruption: Tehpra-Fall Deposit in India and Paleoanthropological Implication menyebutkan ada dua gelombang kedatangan homo sapiens dari Afrika ke Asia, pertama tiba pada 100.000 tahun lalu.


Kemudian yang kedua terjadi 10.000 tahun setelah letusan Gunung Toba, ini merupakan kelompok sapiens yang sama dengan gelombang pertama. Kemudian tinggal di atas lapisan abu vulkanik yang menimbun jejak peradaban pendahulu mereka.


"Jika gelombang pertama migrasi dari Afrika punah, tentu saja tidak ada jejak genetik yang ditemukan pada manusia modern," papar Jones.


Ketika peneliti mencari jejak manusia purba di Nusantara, terdapat periode krisis yaitu minimnya penemuan situs manusia pada periode 70.000-50.000 tahun lalu. Pada masa itu, Kepulauan Nusantara seperti daerah yang kosong karena tidak adanya penemuan artefak.


Situs peradaban manusia modern Nusantara baru ditemukan mulai 45.000 tahun lalu di Gua Tabuhan, Pacitan, Jawa Timur (Jatim). Bahkan keberadaan manusia arkaik homo erectus di Nusantara belum terdeteksi di era sekitar letusan Gunung Toba. Banyak yang menduga spesies manusia pendahulu homo sapiens ini telah punah.


Imigrasi homo erectus dari Afrika dipercaya terjadi pada 1,8 juta tahun lalu sementara sampai ke Pulau Jawa sejak 1,5 juta tahun lalu. Hal ini bedasarkan penemuan situs-situs di Sangiran dan sepanjang aliran sungai Bengawan Solo.


Di Ngandong, Jawa Tengah (Jateng) merupakan situs termuda dari homo erectus yaitu berusia 300.000 tahun lalu. Sedangkan kepunahan homo erectus di Jawa diyakini terjadi pada 100.000 tahun lalu.


Karena itu yang mengalami letusan Danau Toba adalah manusia modern, homo sapiens. Pada 60.000 tahun lalu, homo sapiens kemudian mengisi kembali populasi kosong di Nusantara.


Prof. Harry Truman Simanjuntak peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas) selama bertahun-tahun melacak keberadaan manusia di Nusantara masa lampau.


Menurutnya kekosongan artefak ketika rentang waktu letusan Gunung Toba bisa terbaca dari penemuan situs Gua Song Terus di Pacitan. Di sini ada rentang panjang peradaban manusia dari 30.000 sampai 40.000 tahun lalu.


"Tetapi ada selang waktu kosong di Gua Song Terus. Pada periode 70.000 hingga 45.000 tahun lalu yang hanya ditemukan pasir," ucapnya.


Bila dihubungkan dengan letusan Toba, Harry menyebut periode itu sebagai masa krisis untuk hunian di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Di luar Asia Tenggara, hanya di Australia ditemukan sebuah artefak sekitar 60.000 tahun lalu, tetapi bukan manusia.


Sementara di Malaysia, diklaim penemuan artefak homo sapiens di situs Kota Tampan yang diperkirakan hidup pada zaman sebelum dan sesudah letusan Gunung Toba.


Artefak ini disebut memiliki kesinambungan budaya dan dipercaya sebagai manusia yang selamat dari letusan Gunung Toba. Walau klaim ini diragukan oleh Harry.


Sementara itu, bukti-bukti kehadiran manusia di Sumut terjadi pada 12.000 tahun lalu. Karena itu jeda waktu antara 70.000 dengan 12.000 tahun lalu sangatlah jauh.


"Kita belum bisa menjawab pastinya," papar Harry.

Hari ini, semua yang kita lihat adalah kaldera yang luas namun tenang yang menampung Danau Toba.