Danau Toba oleh Suhunan Situmorang
Alam yang Fantastis, Adat Istiadat yang Rumit Namun Penuh Makna
Danau Toba, disebut para vulkanolog dunia, terbentuk dari beberapa kaldera akibat ledakan-ledakan gunung berapi purba. Puluhan ribu tahun lalu kejadiannya, lalu menampung air hujan dan air dari sungai-sungai yang kemudian terbentuk, mengalir ke kubangan-kubangan mega.
Tak terbayangkan dahsyatnya ledakan-ledakan gunung berapi purba tersebut. Kawasan Danau Toba kini dimiliki tujuh pemerintah kabupaten, dan Kabupaten Samosir yang paling luas danaunya. Dari sudut mana pun dipandang, panorama danau dan kampung-kampung di sekitarnya, indah dan fantastis.
Wilayah-wilayah di sekeliling danau dihuni suku Batak. Sampai sekarang belum ada bukti yang valid dan ilmiah sejak kapan suku Batak menghuni wilayah tersebut. Bahkan nama dan suku Batak pun masih terus dipertanyakan, diperdebatkan, asal-usul dan artinya.
***
Bagiku tak masalah, sah pula dilakukan, sepanjang memiliki argumen yang dapat diterima sains--termasuk studi etnografi dan linguistik. Bukan karena dorongan subjektivitas atau berunsur sentimen primordialisme atau sektarianisme, misalnya. (Cukup banyak orang Batak enggan menyebut diri mereka Batak karena seolah identik dengan suatu agama, yakni Kristen; suatu kekeliruan atau salah pikir yang memprihatinkan).
Boleh jadi perdebatan tentang (nama) Batak tidak akan pernah selesai sampai kapan pun, juga asal-usulnya. Bagi yang masih tertarik mengusut dan menyoal, silakan, namun tak akan bisa dijadikan jawaban final. Akan selalu muncul penolakan dari yang tak menerima.
Aku malah lebih tertarik memikirkan aturan-aturan yang dibuat para leluhur suku Batak yang membentuk sistem dan tata sosial. Kebudayaan dan adat istiadat, aturan perkerabatan, hubungan antarmarga (klan), posisi individu di tengah komunitas yang bisa bergeser sesuai marga dan kedudukan marital seseorang karena perkawinan, bagiku suatu kerumitan yang mengagumkan.
***
Batak, sesungguhnya etnis yang rumit dan sarat aturan--juga filosofi dan lambang. Karakternya pun tak mudah dideskripsikan, termasuk sinyalemen atau kenyataan: rentan berkonflik karena masalah sepele dan sensitif menyangkut harga diri, tak mau diperlakukan tidak setara--karena itulah suku ini tidak mengenal kasta, darah biru, dan sejenis.
Tetapi suku ini sarat dengan aturan dan tuntutan perilaku, maka, banyak pantangan (tongka) dan petuah (poda) untuk dijadikan pedoman bersikap dan berbicara. Supaya menjadi "anak/boruni raja."
Bagus sekali sebenarnya, sayang sekali tak banyak yang memahami esensi adat dan aturan-aturan yang banyak tersebut. Yang menonjol malah egosentrisme dan kian banyak menjalankan adat tanpa mengerti maknanya, yakni saling menghormati, saling menyayangi. Tambah lagi semakin serampangan dilakukan dan pemberian-penerimaan uang seakan jadi ukuran pokok beradat tidaknya seseorang. Tak menarik lama kelamaan.
Ulos yang dipakai lebih banyak ulos KW, musik pengiring upacara pun bukan lagi murni uninguningan berupa gondang sabangunan atau gondang hasapi, tetapi instrumen keyboard dan saxophone buatan Jepang atau negara luar. Tortor diperagakan dengan paduan tari ronggeng, dan orang Batak merasa atau berkata: itu budaya Batak.
Banyak nian yang mengatakan paham adat Batak, tetapi tak mampu menjelaskan apa sesungguhnya makna dari tiap "aturan adat" yang mereka ujarkan dan lakonkan. Yang penting lancar "marumpasa", tahu tata cara dan prosedur suatu acara adat yang telah baku, cukuplah menjadikan seseorang jadi "raja parhata" atau "parsinabul."
Maka, kerumitan itu pun tak cukup baik dipahami orang-orang, terutama generasi Batak yang lebih muda. Apakah hanya begitu saja adat Batak diperlakukan dan dimaknai?
Mari kita pikirkan, terutama bagi yang masih menghendaki keberlanjutan Batak sebagai entitas yang memiliki identitas dan keunikan suku, tanpa maksud chauvinistis dan merendahkan etnis lain. Melainkan, keunikan yang memberi keistimewaan tersendiri, terutama dalam perilaku dan sikap sosial.***