Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengenang Ikan Pora-pora

Ikan pora-pora
(Ikan pora-pora yang digoreng untuk dijadikan lauk)

Ketika Pora-Pora Tak Lagi Berenang di Danau Toba

Kejayaan nelayan dan masyarakat di wilayah perairan Danau Toba tak secerah beberapa tahun lalu. Ikan pora-pora atau ikan bilih yang selama ini menjadi andalan ekonomi masyarakat di Kawasan Danau Toba tidak lagi dapat diharapkan. Ikan kaca-kaca telah ‘menghancurkan’ sumber pencarian nelayan dan masyarakat sekitar Danau Toba. Predator yang sangat ganas ini telah melahap habis ikan pora-pora.


Ikan pora-pora atau disebut juga ikan bilih mulai dikenal masyarakat di kawasan Danau Toba setelah Presiden RI Megawati Soekarno Putri melakukan penebaran ikan tersebut tahun 2004 lalu.

Sejak itu, populasi ikan bilih dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang luar biasa. Jelas, keberadaannya menambah pundi-pundi penghasilan masyarakat di kawasan Danau Toba. 

Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Samosir, Rensus Simanjorang ketika ditemui di Pangururan, belum lama ini, pada tahun 2007, produksi ikan bilih di Samosir mencapai 539 ton.

Angka itu kemudian bertambah menjadi 6.863 ton pada tahun 2008. Kemudian meningkat lagi menjadi 10.751 ton pada tahun 2009, dan menjadi 11.510 ton pada tahun 2010 hingga menjadi 13.391 ton pada tahun 2012.  Namun, produksi tersebut mulai menurun pada tahun 2013, menjadi 7.424 ton.

“Jadi, penurunan produksi ikan bilih sudah tampak sejak tahun 2013. Dan, terus menurun hingga tahun 2014 menjadi 1.360 ton,” jelas Rensus.

Menurut Rensus, penurunan produksi ikan pora-pora itu yang paling besar disebabkan oleh terjadinya over fishing atau penangkapan ikan yang berlebihan yang dilakukan nelayan dan masyarakat setempat di muara sungai. Di mana, ikan bilih yang berkuran kecilpun ikut ditangkap.

Itu karena, harga ikan bilih yang berukuran kecil lebih mahal dibanding berukuran besar. “Karena harga yang tinggi itulah membuat nelayan merubah ukuran jaringnya menjadi lebih kecil lagi sehingga ikan yang masih ‘bayi’ pun ikut tertangkap,” kata Rensus.

Pihaknya kata dia, berulang kali memberikan pengertian agar masyarakat nelayan tidak melakukan penangkapan terhadap ikan bilih berukuran kecil. Sebab, penangkapan ikan yang berukuran kecil akan mempercepat penurunan populasi ikan pora-pora. Namun, nelayan tetap tidak memperdulikannya.

“Mereka tergiur dengan harga tinggi tadi. Ikan yang masih haluspun mereka tangkap. Akibatnya, seperti yang kita lihat sekarang ini, hampir tidak ada lagi yang tersisa ikan pora-pora di Danau Toba,” katanya lagi.

Penurunan populasi ikan bilih juga sangat dirasakan masyarakat nelayan yang menggantungkan ekonominya dari ikan tersebut. Lisdon Gultom (33), misalnya. Warga Sukkean, Kecamatan Onanrunggu, Kabupaten Samosir ini, salah satu nelayan yang telah mengecap manisnya laba dari ikan pora-pora.

“Warga sangat senang ketika ikan pora-pora berkembang dengan cepat di perairan Danau Toba. Sebab, keberadaan ikan pora-pora membuka lapangan pekerjaan baru dan sumber pencarian utama masyarakat setempat,” kata Gultom ketika ditemui MedanBisnis, belum lama ini.

Tidak hanya itu, kata dia, kebutuhan protein dari ikan bagi masyarakat Samosir dan sekitarnya terpenuhi dengan baik. Apalagi, ikan pora-pora sangat mudah ditangkap dan perkembangbiakannya pun berlangsung dengan cepat.

"Ketika ikan pora-pora ini baru muncul di Danau Toba, rata-rata nelayan mampu memperoleh sekitar antara 200 kg - 400 kg setiap hari untuk satu kerambah jaring apung. Dan, produksinya semakin hari semakin bertambah. Hingga, dalam sehari nelayan mampu memperoleh hasil tangkapannya sekitar 1.000 kg atau satu ton,” kata dia.

Biasanya, kata Gultom, dalam mencari ikan pora-pora para nelayan tidak sendiri melainkan per grup. Di mana, setiap grup terdiri dari tiga hingga empat orang.

“Bayangkan saja, kalau dalam sehari nelayan bisa mendapatkan satu ton ikan pora-pora dengan harga jual Rp 1.500 per kg, berarti dalam sehari nelayan bisa memperoleh uang sekitar Rp 1.500.000 atau berkisar Rp 375.000 per orang kalau satu grup terdiri dari empat orang. Tapi, kalau satu grup hanya tiga orang, itu artinya penghasilan mereka per hari berkisar Rp 500.000 per orang,” kata Gultom.

Penghasilan itu, kata dia, tidak hanya lebih dari sekedar cukup. Tetapi, dari penghasilan menangkap ikan pora-pora itu para nelayan bisa membiaya anak-anaknya sekolah bahkan hingga ke perguruan tinggi.

“Perputaran uang dari hasil menjual ikan pora-pora cukup tinggi. Setiap hari toke datang mengambil ikan pora-pora dalam jumlah yang cukup besar untuk dibawa ke berbagai daerah dan propinsi di luar Sumatera Utara,” jelasnya.

Keuntungan yang sangat dirasakan nelayan dan masyarakat sekitar Danau Toba adalah, tidak perlunya memberi makan ikan tersebut. Sebab, keberadaan ikan pora-pora hidup bebas di Danau Toba sehingga masyarakat tidak memerlukan biaya membeli pakan.

Apakah ikan tersebut masih akan ada, mungkin pemerintah bisa memikirkannya kembali..