Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Suhunan Situmorang - Ada Apa dan Mau Kemana Adat Batak

Kasus perkawinan di Medan yang viral itu, juga kasus-kasus waris yang banyak mengemuka, dan tuduhan bahwa adat Batak dalam pesta pernikahan (unjuk), kematian, dll, semakin melenceng dari makna, kian sering digugat karena dianggap memberatkan dan semakin jauh dari perbuatan kasih (holong), sesungguhnya tak patut dianggap biasa oleh orang Batak. 


Gugatan terhadap aturan adat  dan penerapannya di zaman yang kian maju di tengah perubahan masyarakat dunia yang semakin ketergantungan pada teknologi dan relasi antarmanusia  semakin borderless, transnasional, mengarah ke rasionalisme dan pragmatisme serta campur aduk ideologi, sepatutnyalah dipikirkan para pegiat adat--atau siapa pun yang masih menganggap penting.


Ke depan, pola pikir manusia (tak hanya Batak dan Indonesia) akan semakin kritis dan ideologi yang memuja kebebasan individu serta mengandalkan nalar (reason) yang mengutamakan prinsip utilitas atau kebermanfaatan, tak terbendung. 


Adat istiadat suatu etnis sebagai filosofi, norma dasar, aturan dan panduan yang membentuk sistem dan tata sosial, akan terus mengalami gugatan dan penolakan karena dianggap tidak lagi relevan dengan prinsip-prinsip kebebasan individu serta fairness yang terus menguat di kalangan orang terdidik di era postmodernisme. 


Sementara, adat istiadat menyangkut identitas dan eksistensi suatu etnis sebagai entitas. Bila aturan adat tidak lagi dianggap perlu maka identitas dan sistem sosial akan perlahan runtuh. Pakem-pakem tak lagi dihiraukan, aturan-aturan pun diabaikan karena dianggap tak berfaedah dan membebani anggota masyarakat adat (suku). Tambah lagi penetrasi dan doktrin agama-agama Abrahamik yang kian gencar dan sejak awal memang tidak cocok dengan aturan maupun pandangan adat--seperti Batak. 


Kajian-kajian antropologis sesungguhnya amat perlu untuk menjelaskan fenomena dan perubahan-perubahan masyarakat, tetapi tanpa itu pun, para pelaku adat dan yang masih menganggap perlu, selayaknya menyadari perubahan sosial dan orientasi manusia kini dan generasi penerus. 


Bila adat istiadat (seperti Batak) masih ingin dipertahankan karena dianggap masih relevan dan diperlukan sebagai entitas yang butuh eksistensi dan legitimasi, para pelaku adat (tokoh/pengurus komunitas marga, parsinabul, dll) seharusnya bersepakat membuat rumusan-rumusan disertai penjelasan dan alasan yang "masuk akal" mengenai adat dan penerapannya, sekalian untuk mengurangi kebebasan menerapkan adat semau-mau "raja parhata/parsinabul."  


"Tirani" mereka pun saatnya dihentikan, antara lain, dengan memberi peran dan privilese yang sama bagi setiap anggota marga (tidak harus  yang didaulat sebagai "raja parhata").  Demokratisasi dan kebebasan menentukan raja parhata pun perlu untuk mengurangi dominasi menentukan pelaksanaan suatu ritual/hajatan adat. 


Demikian sedikit pandangan saya yang sesungguhnya mengagumi adat Batak tetapi kerap geleng kepala melihat kecenderungan penerapan aturan adat di berbagai acara karena jadi sering mengada-ada dan kehilangan makna yang mulia, yakni: saling menghormati dan mengasihi, dan itu jadi pangkal gugatan orang-orang muda.


Horas.