Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

'Sinamot' Bukan Penghalang! Kecil atau Besar, Tetap Adat Batak..


BatakNesia - Semua suku di dunia ini pastilah memiliki adat masing-masing. Pasti pula mereka bangga dan selalu menghargai adat kebanggaannya itu. Tidak terkecuali adat Batak yang kita banggakan itu.


Dan kalian pasti paham bahwa kaya (mamora) dan miskin (na pogos) pastilah ada pada semua suku dan semua bangsa. Kalian juga paham kan bahwa kemiskinan (hapogoson) bukanlah pilihan.


Adat Batak pun dari dahulu (na jolo) dibuat nenek moyang kita (ompunta na parjolo) sudah memikirkan jalan terbaik atas pelaksanaan adat pada perbedaan tingkatan sosial tersebut. Adat Batak itu fleksibel tidak kaku, baik antara yang miskin dengan yang kaya.


Misalnya, seorang pria yang ekonominya lemah mau menikahi wanita dari keluarga kaya, karena mereka sudah saling mengasihi (marsihaholongan), maka sesungguhnya pihak wanita tidak bisa memaksakan sepihak sinamot/tuhor atau mahar serta acara adat yang mau dilakukan.


Pihak wanita pasti akan hati-hati sekali meminta mahar (manggoli sinamot) kepada keluarga pria (paranak) sebab ada umpasa mengatakan “molo balga binanga, balga ma nang dengkena” artinya jika sungainya besar maka besar pulalah ikannya.


Apa maknanya?


Kiasan itu mengartikan, jika ekonominya kecil tidak mungkinlah mampu menanggung biaya yang besar untuk adat. Pengertian ini tidak hanya ditujukan kepada keadaan pihak wanita tetapi juga diarahkan kepada pihak pria.


Karena rasa cinta kasih antara pria dan wanita (togu marsihaholongan), maka kedua pihak haruslah berembuk secara terbuka dan pihak wanita juga harus dapat merasakan (mandodo) kondisi pihak pria, sehingga bisa mendapatkan jalan terbaik masalah adat yang akan dilaksanakan.


Dimana, pihak wanita tidak lagi menuntut sinamot/tuhor kepada pihak pria yang tidak sesuai dengan kemampuannya, serta tidak menuntut acara adat yang besar.


Dalam hal ini, pihak paranak harus pada posisi menyembah dan memohon (somba jala peak hatana) agar pihak wanita menyetujui permintaan paranak sesuai kemampuannya.


Jika pihak wanita sudah sepakat atas kondisi ini, maka pihak pria pun tidak bisa berharap apalagi meminta bawaan wanita seperti “pauseang” dan lainnya, kecuali pihak wanita memberinya secara ikhlas dan sukarela.


Jadi, “manggoli sinamot” dan acara adatnya dalam budaya Batak adalah sesuai dengan kemampuan kedua pihak. Dengan dasar mereka sudah teguh saling mencintai “togu marsihaholongan”, maka sekalipun ada perbedaan sosial yang satu dengan yang lain, kaya dan miskin, jika kedua pihak “paranak” dan “parboru” mengedepankan kasih “holong” maka subtansi perbedaan itu bisa dieliminir sehingga tidak sampai saling memalukan (marsipailaan).


Sebab, prinsip sahnya adat perkawinan orang Batak bukan pada besarnya “sinamot” dan banyaknya tamu yang menghadiri adat tersebut.


Lalu apa?


Tetapi pada aturan dasar adat itu dimana adat itu sah jika sudah dihadiri dan disetujui oleh para pihak yang berkompeten yakni “suhi ni ampang na opat” dari kedua pihak.


Sebab, adat do na gelleng, adat do na balga.  Artinya, kecil atau besar adatnya, tetap juga adat namanya.


Jadi kaum naposo Batak jangan alergi dulu tentang adat Batak, sebab dia sangat fleksibel dan selalu ada solusi jika kedua pihak ada niat menyatukan persepsi (rade pados tahi hasuhuton bolon).


Maka jika memang kamu kurang mampu secara ekonomi dan berencana mau menikah dengan sesama orang Batak, kalian berdua harus mampu mendorong kedua orangtua untuk dapat berembuk dalam kasih mencari solusi terbaik, jangan buru-buru berencana kawin lari “mangalua”.

Horas Jala Gabe.